“Bahasa yang digunakan seseorang mencerminkan pribadinya”
Gaul, dong! Pede aja lagi! Kasihan deh, lo! Nyantai aja, Coy!  Begitulah antara lain “bahasa gaul” yang seringkali kita dengar di  kalangan remaja kini. ‘Bahasa gaul” itu seakan telah menjadi bahasa  resmi mereka. Bahkan bila dalatn pergaulan mereka ada diantaranya yang  menggunakan bahasa Indonesia – katakanlah – yang baku, penggunaan bahasa  tersebut seolah terdengar aneh dan dianggap norak dalam komunitasnya.  Nggak salah, sih, apabila para remaja menggunakan “bahasa gaul”.  Sedangkan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tentu  Pusat Pembinaan Bahasa yang lebih berkompeten mengurusnya, Yang  jelas-jelas salah adalah, jika “bahasa gaul” yang digunakan  bersinggungan dengan nilai-nilai moral dan agama. Namun nyatannya,  disadari atau tidak, justru hal itu yang sering terjadi. Dengan kata  lain, banyak penggunaan “bahasa gaul” yang makna aplikatifnya cenderung  tidak dibatasi oleh nilai-nilai atau norma-norma tadi (norm/essness).
Gaul, dong!
Dalam konteks sosial pergaulan remaja, “gaul” bukanlah sekedar kata..  Melainkan sudah menjadi semacam istilah atau ungkapan yang ruang  lingkupnya menyentuh berbagai perilaku atau gaya hidup remaja.  Sayangnya, istilah atau.ungkapan itu cenderung bertentangan dengan nilai  atau norma-norma yang ada. Contohnya, berpacaran dengan ngeseks-nya,  minum minuman keras (ngedrink), menggunakan obat terlarang (ngedrugs),  berjudi (ngegambling) atau yang lainnya dianggap “gaul”. Begitu pula  dengan kebiasaan nongkrong, ngeceng, atau yang jainnya. Lebih tegasnya,  makna “gaul” lebih berkonotasi negatif.  Kata “gaul” yang sudah  menggejala bahkan membudaya itu, disadari atau tidaK memiliki makna  psikologis yang relatif cukup kuat pengaruhnya dalam komunitas pergaulan  remaja. Akibatnya karena ingin disebut “gaul”, tidak sedikit diantara  remaja yang ikut-ikutan untuk segera memiliki pacar, ngedrink; nyimenk,  ngedrugs, atau yang lainnya termasuk nongkrong atau ngecengnya. Entah di  pinggiran jaian, di mal-mal, di tempat-tempat hiburan, dan lain  sebagainya. Istilah mereka : “Gaul dooong…”
Pede aja, lagi!
“Pede” (PD) adalah “bahasa gaul” yang mengungkapkan perlunya  seseorang u.ntuk “percaya diri”, Namun ironisnya, himbauan, saran, atau  perlunya seorang untuk bersikap “percaya diri1 ini juga cenderung tidak  dibatasi oleh norma-norma tadi, Misalnya seorang gadis berok mini dan  berbaju you can see disarankan untuk “pede” (baca : percaya diri) dengan  pakaiannya itu. Bahkan bisa jadi si gadis memang merasa lebih “pede”  dengan model pakaian demikian. “Pede aja lagi !” Begitulah bahasa  mereka. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan perlunya seseorang  untuk bersikap “pede” namun tetap normlessness seperti tadi. Sebab  ukuran “pede” yang seharusnya berlandaskan pada keluhuran nilai-nilai  moral dan agama, terkikis oleh hal-hal yang bersifat fisik dan  kebendaan. Contoh lainnya, seseorang merasa “pede” hanya lantaran  kecantikan atau ketampanan wajahnya semata, “pede” hanya jika ke sekolah  atau ke kampus membawa motor atau mobil, “pede” cuma karena  mengandalkan status sosial keluarga, dan masih banyak kasus yang lain,  Sedangkan merasa “pede” setelah memakal deodoran di ketiak, itu sih,  tidak menjadi masalah. Daripada bauket dan mengganggu orang lain ?  Ukuran “pede” seperti itu, jelas nggak bermutu, selain juga keliru.  Pasalnya, pemahaman “pede” harus lebih ditempatkan dalam ukuran atau  standarisasi nilai-nilai ahlak. Bukan karena landasan fisik dan  kebendaan semata.
Kasihan deh, Lo!
Ungkapan ini juga termasuk bahasa gaul yang masih cenderung normless.  Sebab ungkapan tersebut seringkali terlontar pada konteks yang tidak  tepat. Sebagai contoh, seorang remaja yang tidak mau mengikuti tren  tertentu dianggap : “Kasihan deh, Lo!”. Begitu pula dengan remaja yang  membatasi diri dari perilaku lainnya yang sesungguhnya memang  perlu/harus dihindari karena tidak sesuai dengan nilai atau norma-norma  agama (Islam). Misalnya karena.tidak pernah “turun” ke diskotek lengkap  dengan ngedrink atau ngec/njgsnya, ataupun perilaku negatif lain yang  sudah menjadi bagian dari gaya hidup remaja. Bisa juga ungkapan “Kasihan  deh, Lu” ini tertuju pada remaja yang sama sekali tidak mengetahui  berbagai informasi yang memang sesungguhnya juga tidak perlu untuk  diketahui. Seperti tidak mengetahui siapa sajakah personil bintang  “Meteor Garden” yang tergabung dalam “f4″ itu ? Siapa pula “Delon” itu?  Atau yang lainnya
Nyantai aja, Coy!
Kekeliruan lain yang juga menggejala dalam “bahasa gaul” remaja  adalah ungkapan : “Nyantai aja, Coy!” Tentu tidak masalah dalam kondisi  tertentu kita “nyantai”, lebih tepatnya adalah “bersantai” atau  istirahat untuk menghilangkan kepenatan. Namun yang menjadi masalah  apabila “Nyantai aja, Coy” disini konteksnya mirip dengan lagu iklan  Silver Queen : “‘…mumpung kiitaa masih muda, santai saja…” Ingat kan ?  “Nyantai aja, Coy!” yang dilontarkan sebagian remaja seringkali bermakna  ketidakpedulian terhadap kemajuan atau prestasi diri. Sebagai contoh,  seorang remaja mengatakan, “Nyantai aja, Coy!” kepada temannya, karena  temannya itu terlihat gelisah lantaran belum belajar untuk persiapan  ujian besok pagi, “Nyantai aja, Coy!” terkadang bisa pula menunjukkan  ketidakpedulian terhadap lingkungan sosial atau orang lain. Misalnya,  seorang remaja putri sedang asyik ngobrol di telepon umum sementara  banyak orang antri menunggu giliran. Ketika salah seorang yang antri  menegurnya, ia malah menjawab “Nyantai aja, Coy!” Jika mau dicermati  tentu masih banyak ungkapan : “Nyantai aja, Coy!” yang sering  dilontarkan para remaja namun tidak sesuai dengan konteksnya bahkan  menafikan keluhuran nilai-nilai akhlak, Repotnya, apabila mereka  dinasihati untuk men}auhi berbagai perilaku yang tidak baik, termasuk  dalam menggunakan ungkapan yang tidak tepat (karena tidak sesuai dengan  konteksnya), maka dengan mudahnya mereka malah berbalik mengatakan,  “Nyantai aja, Coy!”
Membudayakan bahasa gaul yang positif
Berbagai ungkapan seperti: “Gaul, dong!”, “Pede aja lagi!”, “Kasihan  deh, Lo!”, “Nyantai aja, Coy!” atau mungkin berbagai ungkapan lain,  dalam konteksnya sekali lagi seringkali tidak tepat atau tidak dibatasi  oleh nilai-nilai : baik atau buruk. Karena ungkapan-ungkapan “bahasa  gaul” itu mempunyai pengaruh psikologis yang relatif cukup kuat dalam  mempengaruhi seorang remaja dalam komunitas pergaulannya, maka perlu  adanya semacam upaya membudayakan “bahasa gaul” yang “positif” di  kalangan mereka.
Contoh yang benar menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut disesuaikan  dengan konteksnya atau sejalan dengan nilai-nilai moral adalah sebagai  berikut :
Ungkapan Gaul dong!.
“Sebagai seorang pelajar atau mahasiswa, gaul dong dengan buku!”
“Masak pelajar atau mahasiswa gaulnya dengan ngedrugs, nongkrong, ngeceng, lagi”.
“Masak remaja muslim gaulnya seperti itu. Gaul dong dengan remaja masjid”.
Ungkapan Pede aja, lagi!
“Kalau sudah belajar, pede aja lagi!”
“Kalau kita berada dalam kebenaran, pede aja lagi!”
“Kalau sudah berpakaian sopan, kenapa mesti tidak pede!”
Ungkapan Kasihan deh, Lo!
“Kasihan deh Lo! Masak ngaku pelajar atau mahasiswa tapi berurusan dengan polisi (karena terlibat narkoba misalnya).”
“Masak seorang muslim tidak bisa baca Al Quran. Kasihan deh, Lo! “
Ungkapan Nyantai aja, Coy!
“Kalau kita sudah belajar dengan maksimal, nyantai aja menghadapi ujian.”
Sebagai remaja yang memiliki kemampuan berpikir, tentu kita tidak mau  dong termasuk orang yang “asbun” alias “asal bunyi” dalam bicara. Nah  karena itu, sebaiknya kita meninjau kembali apakah “bahasa gaul” yang  setiap hah kita gunakan itu sudah sesuai tidak konteksnya dengan  nilai-nilai kesopanan dan moral. Biar nggak asal bunyi. Bahasa yang  digunakan seseorang mencerminkan pribadinya. Silakan saja menggunakan  “bahasa gaul” sebagai cerminan bahwa kita memang remaja yang senang  bergaul. Namun hati-hati, jangan karena kita merasa bangga jadi “anak  gaul” tetapi “bahasa gaul” yang kita gunakan tidak tepat konteksnya atau  bertentangan dengan nilai-nilai kesopanan dan moral. Sebab jika  demikian bisa-bisa kita justru disebut “anak yang salah gaul”. Ya  nggak?!
*Penulis adalah penulis buku dan pemerhati masalah sosial remaja, tinggal di Bogor
      Ditulis dalam 
NegRie_Q..
sumber :
google search
Ditulis Oleh : Sopian Hadistiara
Pendapat/Komentar : 
Menurut saya , artikel ini bagus karena pada zaman sekarang banyak anak muda yang menggunakan bahasa yang gaul tetapi salah untuk menempatkannya. jadi saran saya agar anak muda zaman sekarang tidak salah menempatkan bahasa gaul mereka, maka memperbayak membaca buku tentang panggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari dan agar mereka bisa tahu kapan mereka dapat menggunakan bahasa gaulnya dan kapan mereka tidak untuk menggunakannnya. sekian terima kasih.